Ekowisata di Indonesia: 10 Destinasi untuk Kamu yang Cinta Lingkungan

Panggilan Darurat dari Bumi : Nggak Cuma Soal Udara Makin Panas!

panggilan-darurat-dari-bumi

“Duh, panas banget! Dunia bisa lebih panas dari ini kah?”
celetuk seorang teman sambil mengibaskan kerah kaus oblongnya. Aku, yang juga kepanasan, langsung mengiyakan dumelan teman tersebut. Tapi dalam hati, aku memasang wajah menangis ala meme Jerry the Mouse saat tahu jawaban dari pertanyaan tersebut adalah ‘iya’. Iya, kamu nggak salah baca. Bumi kita bisa lebih panas daripada saat ini, terutama sepuluh tahun mendatang! Aktivitas manusia yang terus-terusan ‘menyakiti’ bumi dapat mendukung naiknya suhu udara dan memperparah perubahan iklim.

panggilan-darurat-dari-bumi
Aku saat tahu suhu bumi bisa lebih panas dari sekarang

Bayangkan saja kalau suhu bumi makin panas, belum lagi kalau matahari makin terik. Saat ini saja kita sudah banyak ngomel di siang bolong tanpa udara AC, apply sunscreen berlapis-lapis saat keluar rumah, hingga banjir keringat di pagi pukul 10.00. Kalau sepuluh tahun lagi bumi makin panas, bisa bayangin nggak betapa nyamannya kita menjalani hari?

Iklim Lagi, Iklim Lagi…

Perubahan iklim, climate change, global warming, krisis lingkungan… Istilah apalagi yang sering kita dengar sehubungan dengan isu satu ini? Mungkin beberapa di antara pembaca mulai mendengus dan membatin, “iklim lagi, iklim lagi!” dengan nada penuh protes. Namun, krisis iklim memang sedang terjadi di sekitar kita. Percaya nggak percaya, efeknya bikin kita nggak nyaman!

Coba saja berdiam di ruangan tanpa AC di siang bolong atau telat jalan pagi tanpa mengenakan sunblock. Bagaimana, merasa risih? 

Atau pernah nggak sih kamu terpaksa melipir saat naik motor karena tiba-tiba diguyur hujan deras? Setelah memasang jas hujan dan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba hujan berhenti saat kamu baru menempuh jarak 5 KM. Kesal bukan?

Itu hanya contoh kecil dari ‘keisengan’ perubahan iklim kepada manusia. Iseng skala besarnya? Mengerikan banget! Musim kemarau panjang, penurunan biodiversitas, naiknya permukaan air laut, es kutub meleleh, banjir bandang, hingga kebakaran hutan seperti Australia’s bushfire merupakan bentuk jahatnya perubahan iklim pada manusia.

T..Tapi.. Itu kan banyaknya terjadi di luar negeri!

Foto satelit kehilangan wilayah di Jakarta akibat kenaikan permukaan air laut (Sumber : earth.org)

Siapa bilang? Indonesia juga terpengaruh besar oleh krisis iklim. Salah satu berita yang menjadi alarm urgensi krisis iklim di Indonesia adalah Jakarta tenggelam. Riset yang dilakukan oleh Climate Central Amerika Serikat menunjukkan bahwa Jakarta berpotensi tenggelam pada tahun 2100 akibat padatnya populasi, penggunaan air tanah yang kurang baik, dan krisis iklim

Itu merupakan forecast yang mengerikan tentang masa depan. Lalu, bagaimana dengan saat ini? Adanya bencana alam, seperti banjir bandang Nusa Tenggara Timur atau siklon Seroja, merupakan buah dari iklim yang berubah. Bikin merinding bukan?

Coba bayangkan hidup tanpa minuman yang satu ini :( (Sumber : Dokumen Pribadi)

Namun, kalau bencana alam saja bikin kita kurang ‘tertampar’ tentang darurat krisis iklim, ada satu contoh yang mungkin bikin para pecinta kafe kebakaran jenggot. Dilansir dari mongabay.co.id, perubahan iklim membuat produksi kopi turun oleh karena tergerusnya tanah, kondisi cuaca tidak cocok untuk pertumbuhan kopi, dan masih banyak lagi. Bahkan, dalam 10 tahun ke depan kopi arabika tidak lagi seenak sekarang dan 30 tahun mendatang kopi jadi komoditas langka. Duh, bisa apa para pejuang skripsi dan kerjaan tanpa kopi!

Panggilan Darurat dari Bumi untuk Jaga Masa Depan Manusia

Sumber : The Guardian

Pada Agustus 2021 lalu, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), badan PBB yang bergerak di bidang perubahan iklim, mengeluarkan laporan yang bertajuk ‘Code Red for Humanity’. Dalam laporan itu, IPCC menyebut bumi sudah membunyikan alarm darurat krisis iklim akibat besarnya jumlah emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan bahan bakar fosil. Hal tersebut dapat mengancam hidup manusia. Laporan IPCC juga mengulas komitmen internasional dalam Paris Agreement 2015, yaitu negara-negara di dunia berkomitmen untuk menjaga suhu bumi agar tidak naik melebihi 1.5oC. Gawatnya, sekarang kita sudah mencapai 1.2oC dan akan terus naik jika tidak segera bertindak.

Emang kenapa sih kalau suhu udara sampai naik nol koma sekian persen?

Kenaikan suhu bumi sekarang saja sudah bahaya banget, lho! Berbagai sektor terpengaruh oleh krisis iklim, terutama yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Hal-hal sederhana seperti hasil pertanian dan air bersih bisa menurun drastis akibat krisis iklim. Bayangkan saja jika 10 tahun dari sekarang suhu bumi terus naik, sampai di titik kita tidak bisa bercocok tanam untuk persediaan makanan. Serem nggak tuh?



Merespons panggilan darurat dari bumi, 197 negara dalam PBB melaksanakan UN Climate Change Conference atau COP26 pada tanggal 31 Oktober – 12 November 2021. Konferensi akbar ini bertujuan untuk meningkatkan aksi untuk mencapai tujuan Paris Agreement, yaitu mencegah suhu udara naik lebih dari 1.5oC. Pada konferensi ini, negara-negara di dunia mengajukan kebijakan yang akan mendukung mitigasi krisis iklim. Indonesia juga termasuk, lho! Semoga hasil dari COP26 bisa menghasilkan komitmen yang baik untuk bumi kita, ya!
Nah, kan udah ada COP26 sebagai bentuk aksi global terhadap krisis iklim… Kalau kita sendiri bagaimana? Apakah terpikir untuk beraksi untuk krisis iklim?

Generasi Muda untuk Krisis Iklim

            
Apakah kamu mengikuti berita tentang seorang ABG asal Swedia yang memimpin pergerakan mogok sekolah untuk krisis iklim? Atau mungkin videonya berpidato dan mengungkapkan rasa kecewa dengan mengucapkan, “How dare you!” lewat di laman sosial mediamu? ABG tersebut adalah Greta Thunberg, seorang aktivis iklim muda yang kini masuk ke jajaran orang paling berpengaruh di dunia. Greta merupakan contoh anak muda yang sudah ‘bangun’ dan sadar bahwa krisis iklim mengancam masa depannya. Bahkan dengan berani, Greta mengatakan bahwa generasi sebelumnya ‘mencuri impian dan masa kecilnya’ akibat adanya perubahan iklim.

Berdasarkan laporan ke-6 IPCC, kita tengah berada dalam krisis besar dan tinggal punya waktu 10 tahun untuk menangani krisis iklim sebelum semuanya terlambat. Pernah dengar Sustainable Development Goals atau SDGs? Dalam komitmen yang ditargetkan terjadi di tahun 2030 itu, ada satu poin yang menyangkut iklim, yakni poin ke-13. Poin ini menggaungkan kembali tujuan kita untuk mencegah suhu bumi naik lebih dari 1,5oC dan mengurangi emisi karbon. Kalau tujuan itu tidak tercapai, ada potensi ‘bencana’ besar untuk masa depan generasi millennials dan gen Z. Apakah kita mau generasi ini dan anak cucu hidup di bumi yang tak layak huni?

Kita tidak perlu dengan membara pergi ke kantor pusat PBB atau mengadakan protes dimana-mana seperti Greta untuk menyelamatkan bumi. Ya, aksi memang bagus dan powerful. Namun, jika kita tidak punya waktu, kesempatan, atau energi untuk hal itu, banyak usaha lain dapat kita lakukan secara individu dan sederhana.

Pada 15 Oktober 2021 lalu, aku berkesempatan untuk ngumpul onlen lagi bersama EcoBlogger Squad untuk berdiskusi tentang krisis iklim. Kami kedatangan pembicara dari Yayasan Madani Berkelanjutan, yaitu Kak Anggi. Dalam sesi super seru itu, kami banyak brainstorming dan sharing tentang apa yang harus dilakukan sebagai individu, negara, ataupun global tentang krisis iklim. Dari sharing tersebut, banyak hal-hal insightful aku terima tentang bagaimana menjadi pahlawan iklim bahkan dalam skala kecil. 

Mitigasi Krisis Iklim? Mulai dari Kita Dulu, Yuk!


You are never too small to make a difference” – Greta Thunberg

Memang, krisis iklim saat ini sudah tidak bisa kita tangani secara individu. Sekedar mengurangi penggunaan plastik, makan lebih sedikit daging, hemat bahan bakar, dan hal-hal go green lain, bila dilakukan sendiri, sedihnya tak menyumbang pengaruh besar pada iklim. Eits.. Tapi itu tidak berarti kita berhenti beraksi, lho! Meskipun aksi tersebut kesannya ‘kecil’ dan hanya kita lakukan secara individu, nggak berarti kita do nothing untuk bumi. Siapa tahu, dari aksi kita untuk bumi kita bisa menulari orang lain untuk melakukan hal yang sama. Voila, jadilah snowball effect atau efek bola salju. Sedikit sedikit lama-lama jadi bukit, kita bisa amplifikasi aksi yang kita lakukan untuk jadi lebih besar dan meraih banyak orang!

 Hmm… Lalu aksi apa saja sih yang bisa kita lakukan untuk bumi ini? Dari sharing dengan Kak Anggi kemarin, ada lima hal yang bisa kita lakukan untuk krisis iklim. Yuk, check list-nya di bawah ini ya!

1.      Say No to Buang-Buang Makanan

Pernah dengar istilah food waste? Pasti pernah, dong! Kata yang satu itu jadi salah satu kata kunci hot kalau kita ngomongin isu lingkungan dan climate change. Hal itu dikarenakan sampah makanan (food waste) dan bahan makanan terbuang (food loss) menyumbangkan emisi karbon yang sangat besar, yakni sekitar 15% dari total emisi karbon di bidang pertanian. Selain itu, jumlah makanan yang dibuang oleh satu orang Indonesia setahunnya seharusnya bisa untuk menyelesaikan kasus kelaparan di Indonesia. Wow, signifikan banget bukan? 

Food waste memang terlihat sepele, namun akibatnya besar! Bayangkan, nggak suka sama makanan atau kekenyangan terus jadi buang makanan tersebut saja bisa memperburuk krisis iklim. Apakah kita mau terus-terusan cuek dalam mengonsumsi makanan? 

2.      Jarang Belanja Baju Baru? Malah Bagus!

Tahu nggak sih, keranjang e-commerce kita yang isinya baju-baju lucu bisa menyumbang emisi karbon yang besar lho! Industri fashion menyumbangkan 10% emisi karbon di bumi kita per tahunnya. Menurut World Bank, jumlah ini lebih besar daripada emisi karbon dari penerbangan internasional! Kemudian, tahukah kamu bahwa dibutuhkan sekitar 2.500 L air untuk membuat satu buah kaus? Wah, kebayang dong bagaimana borosnya pakaian kita! 

Oleh karena itu, jarang belanja baju itu malah bagus untuk lingkungan. Masih susah keluar dari hobi belanja? Tenang saja, sekarang banyak thrift shop yang menjual baju bekas dengan kualitas super dan model yang menarik. 

3.      Bijak Menggunakan Bahan Bakar

Hal yang dekat dengan kita dan sangat membantu kehidupan sehari-hari ternyata punya pengaruh buruk untuk iklim. Menurut IPCC, bahan bakar fosil menyumbangkan sekitar 89% dari total emisi CO2 di bumi. Dapat disimpulkan bahwa bahan bakar fosil merupakan salah satu alasan utama ganasnya krisis iklim. Namun, tak bisa dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari kita sangat membutuhkan bahan bakar fosil. Transportasi, listrik, dan banyak hal penting lain didukung oleh bahan bakar fosil, lho... 

4.      Saatnya untuk Bawel

Siapa yang suka bikin story atau jadi bawel di sosial media? Aku sih iya, hahaha… Tapi, kali ini bawelnya kita sangat dibutuhkan untuk menyerukan darurat krisis iklim, lho! Menulis, membuat meme, posting foto, ataupun membuat konten kreatif lainnya di sosial media dapat membantu followers kita, atau masyarakat luas, untuk lebih paham tentang krisis iklim. Siapa tahu, di antara mereka ada juga yang ikut ‘kesangkut’ dan jadi peduli tentang krisis iklim.

5.      Tuntut Perubahan Sistemik

Aksi individu ataupun kolektif memang sangat baik untuk mitigasi perubahan iklim dan menularkan virus cinta lingkungan, namun kita perlu perubahan secara sistemik. Ya, perubahan secara menyeluruh hingga tercapai kesadaran bahwa krisis iklim adalah masalah kita semua. Perubahan ini tidak bisa dilakukan secara individu, bahkan harus meraih skala yang lebih besar seperti pemerintah negara dan internasional. Yuk, kita saling membantu dan bergandengan tangan untuk mencapai perubahan sistemik!

Komentar