Ekowisata di Indonesia: 10 Destinasi untuk Kamu yang Cinta Lingkungan

Mengenal dan Memanfaatkan Bahan Bakar Nabati - Semudah Itukah, Fergusso?

 


“Wah iya, Pak. Kalau limbah singkong memang bisa dijadikan bahan untuk membuat biofuel,”
celetuk seorang dosen saat sedang berdiskusi di kelas. Perhatianku dari Instagram dan sticker WA menggelitik kiriman teman langsung beralih ke platform kelas online. Kata ‘limbah’ dan ‘biofuel’ langsung menarik perhatianku yang pada dasarnya suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan limbah ini. Lebih lagi, bagaimana ‘ajaibnya’ limbah tanaman pangan dan hasil pertanian bisa disulap jadi pembangkit tenaga untuk mesin atau mobil. Wow banget!

Saat ini, bahasan mengenai energi menjadi sesuatu yang ‘panas’ sekaligus penting untuk dibahas. Selama ini, kita tahu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi dan gas terbesar di dunia. Bahkan, ekspor komoditas tersebut pun marak dilakukan oleh negara kita. Tapi tahu nggak sih… Saat ini bahan bakar tersebut sudah mulai habis? Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia hanya dapat memproduksi sekitar 700 ribu barel minyak bumi per hari, sedangkan kebutuhan mencapai 1,5 juta barel per hari. Akibatnya, Indonesia pun mulai mengimpor sebanyak sekitar 350.000-500.000 barel minyak bumi per hari. Bayangin, negara kita beralih dari sultan-nya minyak bumi, jadi nombok untuk menutupi kebutuhan masyarakat.


bahan-bakar-nabati

Indonesia Darurat Energi, begitu kata BPPT. Dari pemaparan di atas, mungkin kita sudah terbayang mengapa kalimat tersebut tercetus. Ketersediaan bahan bakar fosil terbatas, namun masyarakat masih butuh banyak bahan bakar fosil untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Nggak cuma masyarakat dan rumah tangga lho, industri dan sektor krusial lain juga sangat membutuhkan bahan bakar fosil.

Terus, daruratnya dimana?

Nggak hanya hampir habis, stok minyak bumi Indonesia diprediksi hanya akan bertahan sampai 9,5 tahun mendatang, sedangkan cadangan gas dapat tersedia sampai 19 tahun mendatang. Lalu setelah 9,5 tahun dan 19 tahun itu, apakah Indonesia masih punya bahan bakar? Bagaimana kehidupan manusia setelah tahun tersebut?

Sinyal untuk Pindah ke Sumber Energi Lain

bahan-bakar-nabati


Apakah kamu pernah mendengar frasa ‘transisi energi?’ Mungkin pernah mampir di poster lomba, post Instagram akun lingkungan atau edukasi, ataupun muncul singkat di LINE Today. Sesuai namanya, transisi energi adalah perubahan menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan dari penggunaan bahan bakar fosil. Transisi energi menjadi topik yang hot dewasa ini, mengingat dunia sedang diterpa banyak isu sehubungan iklim dan energi. Nggak hanya tentang bahan bakar fosil sudah berkurang, tapi juga akibat buruk dari bahan bakar fosil tersebut untuk bumi kita.

Bahan bakar fosil merupakan salah satu alasan utama dari adanya krisis besar di bumi kita. Yup, apa lagi kalau bukan perubahan iklim! Perubahan iklim disebabkan oleh emisi karbon, dan sudah ketebak dong sektor penyumbang emisi karbon terbesar itu apa? Benar banget, sektor energi dan listrik! Kedua sektor tersebut ditunjang oleh bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, gas, dan batu bara. Menurut Center for Climate and Energy Solutions, sektor energi menyumbang 72% emisi karbon. Sedangkan sektor lain seperti limbah, penggunaan lahan, bahkan agrikultur hanya menyumbang sekitar belasan persen. Wow.. Jumlah yang serius, bukan?

Solusi dari bahan bakar fosil adalah energi baru terbarukan (EBT). Jenis energi ini lebih ramah lingkungan dan menghasilkan sedikit emisi karbon. Salah satu jenis EBT yang sedang marak dikembangkan adalah biofuel atau bahan bakar nabati (BBN). Pernah dengar tentang BBN? Apa itu BBN? Yuk, kita gali bersama-sama!

Mengenal Bahan Bakar Nabati, Sumber Energi Masa Depan Indonesia

Bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel merupakan bahan bakar yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan atau materi organik. Sesuai namanya, kan? Bahan bakar nabati dibagi menjadi tiga klasifikasi utama, yaitu generasi pertama (first generation), generasi kedua (second generation), dan generasi ketiga (third generation).

·    Generasi Pertama, terdiri dari bioethanol dan biodiesel. Bioethanol atau butanol ini dihasilkan dari fermentasi tumbuhan berpati (contoh : singkong, jagung, dan kentang) atau tanaman gula. Biodiesel dalam kategori ini dibuat dari reaksi transesterifikasi minyak nabati dan hewani.

·   Generasi Kedua, terdiri dari bioethanol yang diproduksi secara konvensional dari tumbuhan berpati serta biodiesel yang dihasilkan dari bagian tumbuhan yang mengandung selulosa, seperti kayu, rumput, dan jerami.

·     Generasi Ketiga, terdiri dari biodiesel, bioethanol, dan hydrogen yang dihasilkan oleh alga dan rumput laut.

Kalau ngomongin soal sumber BBN, Indonesia pastinya nggak kehabisan bahan! Keanekaragaman hayati, khususnya tumbuh-tumbuhan, membuat negara kita punya banyak sumber untuk dijadikan bahan bakar nabati. Tumbuhan unik, seperti nyamplung dan jarak, merupakan sumber lokal yang potensial untuk dijadikan bahan bakar nabati. Indonesia pun tidak kekurangan umbi-umbian seperti singkong dan kentang serta tumbuhan penghasil minyak, seperti kelapa sawit, sebagai sumber BBN.

Selain karena sumber yang melimpah di Indonesia, ada alasan utama BBM harus dikembangkan di Indonesia. Apalagi kalau bukan karena emisi karbon-nya! Bahan bakar nabati dapat menghasilkan lebih sedikit emisi karbon dan tidak menghasilkan produk samping yang merugikan lingkungan. Biodiesel dari minyak sawit dapat memperbaiki emisi hidrokarbon sebesar 20% karena bahan bakar ini dapat terbakar sempurna. Implementasi biodiesel di Indonesia berhasil menekan 11,4 juta ton karbon dioksida, lho. Hmm.. Sebuah alternatif energi yang bagus, bukan?

Bahan bakar nabati sudah diakui bahkan dikembangkan di Indonesia. Saat ini, sudah ada peraturan yang mengakui dan merencakan pengembangan biofuel, yakni Peraturan Menteri ESDM No.25 Tahun 2013 dan PP No.5 Tahun 2006. Indonesia juga sudah membuat roadmap implementasi bahan bakar nabati sejak tahun 2008 dan membuat target penggunaan bahan bakar nabati pada tahun 2015.

Bahannya mudah didapat, menghasilkan lebih sedikit emisi karbon, tidak memiliki produk samping yang mencemari lingkungan, dan sudah mulai diimplementasikan di Indonesia. Sungguh sebuah sumber energi yang potensial bukan?

Hmm.. Tapi kenapa nggak cepat-cepat digunakan dan diwajibkan, sih?

Peralihan ke Bahan Bakar Nabati? Tidak Semudah Itu, Fergusso!

Bahan bakar nabati memang ramah lingkungan dan dapat dikembangkan sebagai sumber energi pengganti fosil. Namun, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum memakai bahan bakar nabati secara penuh. Apa saja sih tantangan yang harus kita hadapi dalam pengembangan bahan bakar nabati.

1.      Memastikan Bahan Bakar Nabati Berasal dari Sumber yang Bertanggungjawab

Hijau, hampir nol emisi, dan sedikit limbah. Bahan bakar nabati ini memang wow banget, nggak sih? Eits.. Tunggu dulu! Sebelum kita menerima penggunaan bahan bakar nabati, kita harus mempertimbangkan hal yang sangat penting, yakni apakah bahan bakar nabati yang kita gunakan berasal dari sumber yang bertanggungjawab?

Hmm.. Apa yang dimaksud dengan sumber yang bertanggungjawab?

Salah satu komoditas yang potensial sebagai bahan bakar nabati adalah minyak sawit. Untuk para pembaca yang suka mengulik isu lingkungan, pastinya langsung merengut ketika membaca nama komoditas satu ini. Ya, kita sering banget dengar tentang dampak negatif dari minyak sawit untuk lingkungan, terlebih hutan. Namun disisi lain, minyak sawit adalah sumber bahan bakar nabati yang murah, mudah didapat, dan aman digunakan.

Tapi kalau kita pakai sawit sebagai bahan bakar, bakal lebih banyak sawit yang dibutuhkan dong! Bukannya berpotensi memperparah deforestasi?

Bisa jadi! Saat ini, sawit utamanya digunakan sebagai bahan makanan. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan minyak sawit pun tinggi, mengingat kita sangat akrab dengan makanan yang digoreng dan mengandung banyak minyak. Sebuah riset menunjukkan bahwa dibutuhkan tambahan lahan seluas 5,15 juta ha lahan untuk mewujudkan pemanfaatan BBN sebagai sumber energi pada tahun 2025. Oleh karena itu, terdapat potensi besar untuk dibukanya lahan dan deforestasi. Bukannya mengurangi emisi dan dampak lingkungan, penggunaan BBN malah memperparah kerusakan lingkungan.

2.      (Lebih) Mahal, Bos!

Tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan bahan bakar nabati itu mahal. Meskipun sumber BBN di Indonesia itu beragam dan melimpah, harganya mahal, lho.. Akses untuk bahan-bahan unik seperti jarak dan tanaman nyamplung tidaklah mudah dan butuh biaya yang besar untuk membeli komoditas tersebut.

Beralih ke 100% bahan bakar nabati? Siap-siap juga untuk mengeluarkan biaya lebih, ya! Penggunaan bahan nabati 100% untuk biodiesel, atau dikenal dengan B100, dapat dibanderol dengan harga yang sangat mahal yakni sampai Rp15.000,00 per liter. Wah, menantang juga, ya!

3.      Lihat Rantai Pasoknya, Apakah Menguntungkan bagi Petani?

Kata ‘bertanggungjawab’ juga berlaku untuk dampak sosial dari penggunaan bahan bakar nabati. Sumber bahan bakar nabati, khususnya sawit, menemukan masalah besar di bidang rantai pasok atau bahasa kerennya – supply chain.

Petani kecil atau petani swadaya merupakan pihak yang dirugikan karena rantai pasok yang panjang. Oleh karena itu, untuk ‘bertanggungjawab’ dalam menggunakan bahan bakar nabati, kita juga perlu memperhatikan dampak sosial. Bekerjasama dengan petani swadaya sebagai pemasok kelapa sawit mendatangkan banyak keuntungan, lho! Selain dapat membantu meningkatkan pendapatan petani, mengikutsertakan petani kecil dalam rantai pasok BBN juga dapat menghemat penggunaan lahan, menghindari deforestasi, dan mengurangi emisi karbon. 

4.      Pangan Dulu atau Energi Dulu, Ya?

Seperti yang telah dipaparkan di poin 1, rata-rata sumber dari BBN yang kita gunakan merupakan tanaman pangan. Yup, tumbuhan seperti singkong, jagung, dan minyak sawit masih cukup banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai sumber pangan. Jika bahan-bahan tersebut digunakan sebagai BBN, akan ada peningkatan kebutuhan yang mengharuskan adanya peningkatan produksi. Dalam skenario perwujudan B100, dibutuhkan lahan sawit baru seluas 3,78 ha untuk lima tahun mendatang. Dalam skenario campuran biodiesel B30, terdapat kebutuhan lahan sawit baru seluas 20,4 - 22,8 juta ha. Hal ini dapat menyebabkan memburuknya deforestasi dan pembukaan lahan. /

Solusi untuk Pengembangan Biofuel Ada di Dekat Kita!

Hmm.. Setelah baca pembahasan di atas, rasanya jadi serba salah ya..

Mau pakai biofuel 100%, bakal mahal harganya                                                                                        Mau pakai biofuel dari bahan lokal, susah dapatnya                                                                                    Mau pakai biofuel dari minyak sawit mentah, nanti sama aja emisi karbonnya!

Terus kita harus gimana dong?

Eh, tapi tenang saja! Ada solusi untuk pengembangan biofuel yang murah meriah, mudah didapatkan, dan sangat dekat dengan kita. Sumber biofuel yang satu ini mungkin akan mengejutkan dan bikin kamu ngebatin, "Wow, sumber biofuel ternyata segampang itu, ya!" Bahkan, bahan biofuel itu bisa kita dapatkan dari sesuatu yang akrab atau mungkin kita sukai.

Siapa disini yang suka makan gorengan? Mulai dari fried chicken sampe mendoan yang krispi, pasti susah buat nolak! Salah satu rahasia umum di masyarakat kita adalah makanan berminyak atau gorengan itu biasanya digoreng berkali-kali dengan minyak yang sama, bahkan sampai minyaknya menghitam. Tapi tahu nggak sih, minyak yang hitam dan nggak banget itu bisa jadi berkah?

Salah satu biofuel yang dikembangkan sebagai pengganti minyak sawit mentah atau crude palm oil adalah minyak jelantah atau minyak bekas goreng. Bahan bakar nabati dari minyak jelantah adalah biodiesel, dan dapat dipakai untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Di Indonesia, minyak jelantah sudah mulai digunakan sebagai campuran solar dengan komposisi 70% solar dan 30% minyak jelantah, yang juga dikenal sebagai B30. 

Banyak banget keuntungan dari penggunaan minyak jelantah untuk biodiesel, lho! Apa aja sih kira-kira?

1.      Hemat Biaya dan Murah

Minyak jelantah adalah solusi untuk bahan bakar nabati yang lebih murah! Secara biaya produksi, minyak jelantah 35 persen lebih murah dari minyak sawit biasa. Biodiesel dari minyak jelantah pun dapat dijual dengan harga Rp11.000,00 bahkan kurang. Di tahun 2021, biodiesel B30 sudah mulai dipasarkan dengan harga Rp11.034 per liter. Harganya masih mendekati harga bahan bakar biasa seperti Pertamax, bukan?

2.      Potensi Produksi Besar di Indonesia

Selama orang Indonesia masih makan gorengan, minyak jelantah nggak akan habis! Setuju nggak nih? Di tahun 2018 saja, Indonesia menghasilkan hampir 3 juta kilo liter minyak jelantah dari pemakaian sehari-hari. Namun, kebanyakan minyak jelantah tersebut terbuang begitu saja. Dari tiga juta kilo liter, hanya sekitar 570 ribu terpakai untuk biodiesel. Padahal, dalam skenario optimis, hampir 84% minyak jelantah bisa terpakai kembali untuk biodiesel.

3.      Bernilai Ekonomi

Minyak jelantah, yang sebenarnya adalah limbah, bisa dijual dengan harga yang mahal, lho! Fakta bahwa minyak jelantah bisa dijadikan bahan untuk biodiesel membuat harga limbah yang satu ini melonjak. Bahkan, bisa diekspor juga! Menurut Kementerian ESDM, terdapat kelompok masyarakat yang sudah mengembangkan biodiesel berbasis jelantah di Kalimantan Timur dan berhasil meraih keuntungan Rp2.000.000/hari. Seorang pemuda asal Makassar pun menjadikan biodiesel minyak jelantah sebagai ide bisnis dan mampu meraih omzet ratusan juta.

Dengar berita ini, apakah kamu jadi tertarik untuk berbisnis minyak jelantah?

4.      Emisi Karbon Lebih Sedikit

Selain berasal dari sumber yang lebih sustainable, biodiesel dari minyak jelantah juga menghasilkan emisi karbon yang lebih sedikit  Minyak jelantah dapat menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca sampai 6 juta ton setiap tahunnya, dibanding dengan biodiesel dari minyak sawit. Dalam scenario optimis, penggunaan minyak jelantah secara optimal bahkan bisa menurunkan emisi karbon mencapai 11,5 juta ton. Wah, solusi yang ramah lingkungan!

Setelah tahu ada bahan yang murah meriah dan mudah untuk bahan bakar nabati, jadi bisa lihat masa depan cemerlang BBN di Indonesia nggak sih? Jadi, pengembangan bahan bakar nabati mudah lho, Fergusso! Yuk, kita kawal dan bantu transisi energi dan pengembangan bahan bakar nabati berbasis minyak jelantah di Indonesia!

Ps : Bagi teman-teman yang punya kontak / informasi terkait pihak yang menerima atau membeli jelantah, silakan drop di kolom komentar ya!

Referensi

Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) https://ebtke.esdm.go.id/post/2021/03/09/2824/peluang.dan.tantangan.pemanfaatan.biodiesel.berbasis.minyak.jelantah.

Tirto.id – Potensi Minyak Jelantah https://tirto.id/potensi-minyak-jelantah-sebagai-alternatif-biodiesel-kelapa-sawit-giYo

Our World in Data https://ourworldindata.org/emissions-by-sector

Komentar