Ekowisata di Indonesia: 10 Destinasi untuk Kamu yang Cinta Lingkungan

Perihal Merapi dan Merbabu


Kau dan aku duduk ditemani lelah selepas mendaki. Sebuah gunung yang tak terlalu tinggi di Jawa Tengah, sebab ini pertama kali kau mendaki dan aku ragu pada ketinggian. Atau sebuah bukit yang menyuguhkan senja dan miniatur kota. Tentu kita tidak berdua, selalu kau tolak ajakan bila kita hanya berdua. Anehnya, jika aku berduaan dengan sahabatku yang kau tak suka itu biasa. Begitupula jika kau berduaan dengan sahabat yang bisa jadi pacarmu itu normal. Tenang saja, teman-teman kita ada di belakang. Menyalakan musik, bernyanyi sumbang sampai pendaki lain tertawa. Aku lepas menyeduhkanmu secangkir kopi (dicampur susu karena kupikir kau tidak suka pahit), kau menawarkan semangkuk indomi.

Kau menunjuk sesuatu. Kupikir cakrawala jingga lembut yang disayat dengan semburat ungu gelap dan biru tua. Kukira keangkuhan mentari yang merasa dirinya akan menuai rindu dari semua makhluk di dunia selepas pergi. “Gunung apa itu?” tanyamu, seakan memulai basa-basi. Kuharap kau menunjuk Sindoro-Sumbing yang kembar saja. Ternyata yang kau tunjuk adalah sepasang gunung dengan bentuk berbeda. Dikecup mentari, gunung yang satu berwarna hijau dengan urat-urat kontur yang membuatnya makin mengagumkan. Yang lain adalah gunung dengan ukuran lebih kecil dengan puncak berbentuk segitiga tak rata dan berwarna kelabu. “Merapi dan Merbabu,” kujawab kau.



Kau berkomentar bahwa Merapi dan Merbabu terlihat mempesona bersama. Aku mengangguk tanda setuju. “Mungkin lebih cocok disebut serasi,” timpalku. “Mengapa serasi? Kata sifat itu biasa digunakan untuk memuji sepasang kekasih,” ujarmu. Aku berkisah padamu bahwa Merapi laksana seorang Tuan. Gagah, menggebu-gebu, agresif, misterius, dan tajam pada lereng-lerengnya. Kubilang padamu bahwa Merbabu adalah seorang Puan. Kata ‘babu’ sendiri berarti perempuan, diambil dari bahasa Jawa atau apa aku lupa. Cantik, siapapun rindu bertemu dengan lereng dan puncaknya, tenang, serta diam-diam menghanyutkan. “Pantas, mereka seperti sepasang kekasih,” ucapmu. “Namun tahukah kau bahwa Merapi dan Merbabu tak pernah bersatu?” tanyaku.

Bagi mereka yang mengatur jarak pandang, Merapi dan Merbabu adalah pasangan yang akrab. Selalu bersama, menawan karena saling berpelukan. Bagi mereka yang ingin mengunjungi keduanya, Merapi dan Merbabu adalah kemustahilan. Lereng Merapi dan Merbabu ada di tempat-tempat yang berbeda. Merapi di Yogyakarta dan Merbabu di Magelang serta Boyolali. Mereka hanya bersatu di jalur pendakian Selo, itupun dengan arah berbeda. Aku menyebutkan fakta itu padamu dan kau menyimpulkan, “Ah, sayang sekali. Padahal Merapi dan Merbabu terlampau serasi.”

“Tak semua yang serasi harus bersatu. Tak semua yang terlihat bersama harus saling memiliki,” ungkapku lirih. “Mari kita gunakan majas personifikasi. Masih ingat kan pelajaran Bahasa Indonesia saat SMA? Personifikasi digunakan untuk menghidupkan benda mati, paling mudah digunakan untuk mereka yang baru belajar puisi. Oke, kita ibaratkan Merapi dan Merbabu saling jatuh cinta.” Kau mengejekku budak cinta dan lemah hati, bertolak belakang dengan ketangguhanku di jalur pendakian. Aku mencelamu balik karena kau sama galau-nya denganku, hanya lebih jarang saja.

“Merbabu dan Merapi mengerti bahwa mereka selalu berdampingan. Mereka menuai kekaguman dari anak manusia bersama, mereka menjadi mempesona bersama. Di sisi lain, mereka terlampau sadar bahwa sulit bagi jemari mereka untuk bertautan,” ujarku. “Tetapi Merbabu jatuh cinta pada Merapi? Begitu?” tanyamu, mulai ikut permainanku. “Bisa jadi. Merbabu yang cantik dan kalem. Ia mengagumi kawannya itu dalam diam. Mengagumi setiap lekuk dan lereng di tubuh Merapi, menginginkan bara dan pijar Merapi. Namun dengan segala keindahan dan fakta bahwa manusia mencintainya, Merbabu tidak dapat membuat Merapi jatuh hati padanya,” kataku getir. “Bagaimana kalau Merapi yang jatuh cinta pada Merbabu?” tanyamu menyela. “Ia mengagumi keindahan dan keramahan sang Merbabu. Ia berpikir bahwa Merbabu dapat dengan mudah jatuh ke dalam pelukannya, namun ternyata tidak. Merbabu dikagumi begitu banyak pendaki, begitu kan katamu? Merapi takut ia tidak cukup indah untuk Merbabu yang mempesona.”

Kita berdua diam kemudian meledak dalam tawa. Menjadikan diri kita bahan lelucon terkonyol di dunia. Berteriak bahwa perut tergelitik untuk muntah karena kalimat dan filosofi yang diucapkan masing-masing. Teman-teman memanggil, beberapa berkomentar bahwa kita serasi. Kau protes, aku menolak keras. Dalam pikiranku, terlintas kisah yang kita ciptakan tadi.

Kita adalah Merapi dan Merbabu. Dari kejauhan, mereka memandang kita adalah dua persona yang telah didukung Semesta. Namun tak tahu, aku dan kau yang jadi satu adalah kemustahilan. Tanganku terbakar jika hendak menggenggam jemarimu, jarak kita panjang bahkan sinyal internet lelah menghubungkan. Mungkin aku adalah Merbabu yang mengagumimu, sang Merapi, dalam diam. Walaupun aku tak secantik Merbabu dan kau tak segagah Merapi. Apakah mungkin Merapi memendam rasa pada Merbabu juga?

Kau adalah Merapi yang tak ingin diangankan, aku adalah Merbabu yang berangan dan menginginkanmu.


Komentar