- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kau
dan aku duduk ditemani lelah selepas mendaki. Sebuah gunung yang tak terlalu
tinggi di Jawa Tengah, sebab ini pertama kali kau mendaki dan aku ragu pada
ketinggian. Atau sebuah bukit yang menyuguhkan senja dan miniatur kota. Tentu
kita tidak berdua, selalu kau tolak ajakan bila kita hanya berdua. Anehnya,
jika aku berduaan dengan sahabatku yang kau tak suka itu biasa. Begitupula jika
kau berduaan dengan sahabat yang bisa jadi pacarmu itu normal. Tenang saja,
teman-teman kita ada di belakang. Menyalakan musik, bernyanyi sumbang sampai
pendaki lain tertawa. Aku lepas menyeduhkanmu secangkir kopi (dicampur susu
karena kupikir kau tidak suka pahit), kau menawarkan semangkuk indomi.
Kau menunjuk sesuatu. Kupikir
cakrawala jingga lembut yang disayat dengan semburat ungu gelap dan biru tua.
Kukira keangkuhan mentari yang merasa dirinya akan menuai rindu dari semua
makhluk di dunia selepas pergi. “Gunung apa itu?” tanyamu, seakan memulai
basa-basi. Kuharap kau menunjuk Sindoro-Sumbing yang kembar saja. Ternyata yang
kau tunjuk adalah sepasang gunung dengan bentuk berbeda. Dikecup mentari,
gunung yang satu berwarna hijau dengan urat-urat kontur yang membuatnya makin
mengagumkan. Yang lain adalah gunung dengan ukuran lebih kecil dengan puncak
berbentuk segitiga tak rata dan berwarna kelabu. “Merapi dan Merbabu,” kujawab
kau.
Kau berkomentar bahwa Merapi dan
Merbabu terlihat mempesona bersama. Aku mengangguk tanda setuju. “Mungkin lebih
cocok disebut serasi,” timpalku. “Mengapa serasi? Kata sifat itu biasa digunakan
untuk memuji sepasang kekasih,” ujarmu. Aku berkisah padamu bahwa Merapi
laksana seorang Tuan. Gagah, menggebu-gebu, agresif, misterius, dan tajam pada
lereng-lerengnya. Kubilang padamu bahwa Merbabu adalah seorang Puan. Kata ‘babu’
sendiri berarti perempuan, diambil dari bahasa Jawa atau apa aku lupa. Cantik,
siapapun rindu bertemu dengan lereng dan puncaknya, tenang, serta diam-diam
menghanyutkan. “Pantas, mereka seperti sepasang kekasih,” ucapmu. “Namun
tahukah kau bahwa Merapi dan Merbabu tak pernah bersatu?” tanyaku.
Bagi mereka yang mengatur jarak
pandang, Merapi dan Merbabu adalah pasangan yang akrab. Selalu bersama, menawan
karena saling berpelukan. Bagi mereka yang ingin mengunjungi keduanya, Merapi
dan Merbabu adalah kemustahilan. Lereng Merapi dan Merbabu ada di tempat-tempat
yang berbeda. Merapi di Yogyakarta dan Merbabu di Magelang serta Boyolali. Mereka
hanya bersatu di jalur pendakian Selo, itupun dengan arah berbeda. Aku
menyebutkan fakta itu padamu dan kau menyimpulkan, “Ah, sayang sekali. Padahal
Merapi dan Merbabu terlampau serasi.”
“Tak semua yang serasi harus
bersatu. Tak semua yang terlihat bersama harus saling memiliki,” ungkapku
lirih. “Mari kita gunakan majas personifikasi. Masih ingat kan pelajaran Bahasa
Indonesia saat SMA? Personifikasi digunakan untuk menghidupkan benda mati,
paling mudah digunakan untuk mereka yang baru belajar puisi. Oke, kita
ibaratkan Merapi dan Merbabu saling jatuh cinta.” Kau mengejekku budak cinta
dan lemah hati, bertolak belakang dengan ketangguhanku di jalur pendakian. Aku
mencelamu balik karena kau sama galau-nya
denganku, hanya lebih jarang saja.
“Merbabu dan Merapi mengerti bahwa
mereka selalu berdampingan. Mereka menuai kekaguman dari anak manusia bersama,
mereka menjadi mempesona bersama. Di sisi lain, mereka terlampau sadar bahwa
sulit bagi jemari mereka untuk bertautan,” ujarku. “Tetapi Merbabu jatuh cinta
pada Merapi? Begitu?” tanyamu, mulai ikut permainanku. “Bisa jadi. Merbabu yang
cantik dan kalem. Ia mengagumi kawannya itu dalam diam. Mengagumi setiap lekuk
dan lereng di tubuh Merapi, menginginkan bara dan pijar Merapi. Namun dengan
segala keindahan dan fakta bahwa manusia mencintainya, Merbabu tidak dapat
membuat Merapi jatuh hati padanya,” kataku getir. “Bagaimana kalau Merapi yang
jatuh cinta pada Merbabu?” tanyamu menyela. “Ia mengagumi keindahan dan
keramahan sang Merbabu. Ia berpikir bahwa Merbabu dapat dengan mudah jatuh ke
dalam pelukannya, namun ternyata tidak. Merbabu dikagumi begitu banyak pendaki,
begitu kan katamu? Merapi takut ia tidak cukup indah untuk Merbabu yang
mempesona.”
Kita berdua diam kemudian meledak dalam
tawa. Menjadikan diri kita bahan lelucon terkonyol di dunia. Berteriak bahwa
perut tergelitik untuk muntah karena kalimat dan filosofi yang diucapkan
masing-masing. Teman-teman memanggil, beberapa berkomentar bahwa kita serasi. Kau
protes, aku menolak keras. Dalam pikiranku, terlintas kisah yang kita ciptakan
tadi.
Kita adalah Merapi dan Merbabu. Dari
kejauhan, mereka memandang kita adalah dua persona yang telah didukung Semesta.
Namun tak tahu, aku dan kau yang jadi satu adalah kemustahilan. Tanganku terbakar
jika hendak menggenggam jemarimu, jarak kita panjang bahkan sinyal internet
lelah menghubungkan. Mungkin aku adalah Merbabu yang mengagumimu, sang Merapi,
dalam diam. Walaupun aku tak secantik Merbabu dan kau tak segagah Merapi. Apakah
mungkin Merapi memendam rasa pada Merbabu juga?
Kau adalah Merapi yang tak ingin
diangankan, aku adalah Merbabu yang berangan dan menginginkanmu.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mahasiswi hampir lulus yang suka jalan-jalan tapi gampang mabok laut. Suka mengulik gaya hidup zero waste dan isu lingkungan.
Komentar
Posting Komentar