Ekowisata di Indonesia: 10 Destinasi untuk Kamu yang Cinta Lingkungan

Perkara Kebakaran Hutan, Perkara Kesejahteraan Peradaban

Halo teman-teman! Mari kita awali blogpost bertajuk serius ini dengan sebuah pertanyaan menyenangkan :

Siapa yang suka main ke hutan atau gunung?

Wah.. Pastinya banyak yang suka, ya! Gunung atau hutan adalah tempat piknik yang ciamik dengan hawa sejuknya, pepohonan hijau yang bikin mata segar, ataupun 'energi' yang dimilikinya. Siapa yang kalau ke hutan atau gunung langsung kerasa adem dan tenang? Saya, saya! 

Naik gunung sejak SMP dan selalu ikut pecinta alam di SMA dan kuliah membuat saya nggak bisa jauh dari hutan dan gunung. Setiap liburan pasti selalu aja harus ada gunung yang disambangi, mulai dari Gunung Papandayan yang bisa ditempuh dalam waktu beberapa jam hingga Gunung Rinjani yang berjarak dua jam penerbangan. Sayangnya, pandemi Covid-19 yang mampir ke bumi kita sejak Maret tahun lalu membuat akses saya untuk mendaki gunung berhenti total. Berhubung masih tinggal di rumah orangtua, tentunya aturan dari orangtua jadi undang-undang negara. Saya pergi ke Ancol saja masih susah, apalagi naik gunung. Hahaha.. Curhat sedikit, ya!

Memaknai Hutan, Polusi, dan Pandemi Melalui Hutan Kota Srengseng



Setelah hampir 12 purnama mendekam tanpa alam dan yang ijo-ijo, atas ajakan teman-teman kelompok saya yang super asyik dari volunteer Hutan Itu Indonesia, saya kembali menyambangi hutan. Namun kali ini, saya nggak melancong jauh dan hanya pergi menuju hutan yang bisa ditempuh dalam rute KRL Jabodetabek. Hutan ini ada di tengah Jakarta Barat, suatu oasis di tengah-tengah asap kendaraan dan bangunan menjulang ibukota. Namanya Hutan Kota Srengseng.

Bersama teman-teman baru

Saat memasuki kawasan hutan kota ini, kita akan langsung disambut dengan pepohonan hijau yang lebat. Napas yang sudah sesak karena masker dan menghirup asap kendaraan langsung segar lagi karena oksigen yang disediakan pohon-pohon. Hutan Kota Srengseng merupakan hutan yang terdiri dari vegetasi tebal dan lebat, mengatasi ekspektasi saya. Awalnya, saya berpikir bahwa Hutan Kota Srengseng serupa taman kota yang hanya ditumbuhi sedikit pohon namun banyak fasilitasi. Silly me!



Hutan Kota Srengseng yang lebat dan hijau membayar kangen saya pada kesejukan dan energi damai hutan, sekaligus jadi merenung. Masuk ke hutan kota seperti ini saja sudah bikin napas segar dan sejuk, padahal selama hidup sehari-hari di Jakarta sudah biasa dengan polusi. Bagaimana kalau di hutan beneran? Pantas saja hutan disebut sebagai paru-paru dunia. Oksigen kita berasal dari hasil fotosintesis dan lahan gambutnya, napas kita akan tiada tanpa hutan. 

Pikiran saya bergeser ke hal lain, yaitu perkara polusi Jakarta dan perlunya ruang terbuka hijau untuk merawat kesehatan warga. Menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta, pada awal tahun 2019 saja terdapat 178.501 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terjadi di Jakarta akibat polusi udara. Bagaimana dengan sekarang, ditambah adanya pandemi Covid-19 juga? Tentu saja, angka tersebut berpotensi menaik. Polusi udara di Jakarta pun kian memburuk, setelah sempat turun karena PSBB di awal pandemi tahun lalu. Nah, ini baru tentang ISPA di Jakarta karena polusi udara dan asap kendaraan. Bagaimana dengan kondisi hutan asli di Sumatera atau Kalimantan sana yang marak terbakar?
Harusnya hutan menjadi sesuatu yang menyegarkan dan memberikan kehidupan bagi peradaban manusia, namun mengapa malah dibakar untuk menyiksa manusia itu sendiri? 

Semarak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, Mengapa dan Bagaimana?

Bencana Tahunan Kebakaran Hutan dan Lahan

Begitu tajuk materi yang disampaikan Mas Dery Sukmara dari Auriga Indonesia. Penggunaan kata 'bencana' untuk menggambarkan kebakaran hutan dan lahan nggak berlebihan, lho... Teman-teman ingat nggak tentang kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 di Riau? Kebakaran hutan dan lahan di daerah tersebut merupakan kebakaran hutan dahsyat yang memakan 174.000 hektar hutan dan menyumbangkan emisi karbon yang besar. Kerugian yang jelas dirasakan tentunya adalah gangguan kesehatan pernapasan untuk warga. Penerbangan nasional dan internasional pun terhalang karena kabut asap. Hubungan diplomatik kita dengan negara tetangga sempat terganggu karena kabut asap sampai ke mereka. Udah gitu, kebakaran hutan ini seakan nggak ada selesainya. Jelas sebuah bencana, bukan?

Kebakaran hutan di Indonesia udah stop? Hmm.. Nggak dong! Malahan terjadi perluasan wilayah hutan yang akan dibakar di negara kita. Duh.. Berita sedih nggak sih? Tapi sebelum bahas lebih lanjut tentang perluasan kebakaran hutan, kasus karhutla di Indonesia sempat menurun, tepatnya dari tahun 2015 ke tahun 2018. Hingga pada tahun 2019, terjadi kebakaran hutan yang besar di Sumatera dan Kalimantan hingga memakan 1,6 juta hektar lahan. Meskipun jumlah ini lebih kecil daripada tahun 2015, yang mencapai 2 juta lebih hektar lahan, emisi karbon yang dihasilkan lebih besar, lho! Emisi karbon dari kebakaran hutan tahun 2019 melebihi emisi industri penerbangan internasional. Padahal, kita tahu bahwa emisi karbon adalah alasan dari krisis iklim yang kita hadapi sekarang. 


Kalau ditanya daerah mana di Indonesia yang paling banyak terjadi kebakaran hutan, pasti kita menjawab 'Sumatera' atau 'Kalimantan'. Yup, isu deforestasi di kedua pulau ini memang marak di berita atau sosial media. Daerah yang paling banyak mengalami kebakaran hutan di Indonesia adalah Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan hijau di ketiga pulau ini semakin menurun seiring berjalannya waktu. Di sisi lain, 'rutinnya' kebakaran hutan di ketiga pulau itu membuat pemerintah dan LSM dapat memetakan pola kebakaran hutan, hubungannya dengan iklim dan kemarau panjang (El Nino), dan mengatur strategi penanganan. Kabar buruknya, nggak puas habisin hutan di Indonesia barat, kini kebakaran hutan merambah ke Indonesia timur, seperti Sulawesi Tengah dan Maluku.


"Tapi kan perubahan iklim dan kemarau panjang mengakibatkan kebakaran hutan!"
Benar banget! Tapi, yakin nggak kemarau panjang atau El Nino merupakan penyebab utama? Ohiya, apakah kamu tahu bahwa kebakaran hutan itu nggak cuma ada di wilayah hutan industri atau yang memang legal untuk sawit tapi juga di kawasan konservasi? Kebakaran di wilayah hutan industri bisa merambat ke area konservasi dan perlahan membabat habitat hewan disana. Lalu, berdasarkan data mengenai kebakaran hutan pada tahun 2019, porsi hutan konservasi yang dibakar cukup besar. Nah.. kalau sampai hutan konservasi yang dibakar, bisa jadi faktor utama terjadinya kebakaran hutan adalah ulah manusia. 


Lalu, kalau kita sudah tahu kebakaran hutan adalah masalah lingkungan dan peradaban yang besar, bagaimana cara kita menangani kebakaran hutan? Apa yang telah dilakukan pihak decision maker dan pegiat lingkungan tentang hal ini?



Auriga Indonesia, afiliasi Mas Dery pembicara, merupakan organisasi non-pemerintah yang bergerak untuk melestarikan sumber daya alam di Indonesia dalam lingkup kebijakan, aksi, dan restorasi. Sebagai LSM, Auriga Indonesia telah melakukan banyak hal sebagai aksi tanggap bencana kebakaran hutan, seperti yang telah terpapar pada poster di atas. 
Kita pun bisa beraksi untuk kebakaran lahan dan hutan dari rumah, lho! Tak perlu langsung ke hutan untuk memadamkan kebakaran atau menghadap para decision maker, kita bisa mengundang kepedulian orang-orang di sekitar kita terhadap isu ini dengan cara menyuarakannya melalui media sosial. Kita bisa berdonasi untuk para masyarakat yang terdampak, kita bisa berhenti memakai produk dari perusahaan yang merusak lingkungan, serta meningkatkan kepedulian terhadap alam di sekitar. 

Kalau kamu, apakah yang akan kamu lakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap isu kebakaran hutan dan lahan?

Menguak Hubungan Deforestasi dan Pandemi

Ingat nggak pas awal-awal pandemi katanya virus corona berasal dari kelelawar? Apakah itu benar ataukah hanya teori konspirasi, hayoo..?
dr. Alvi Muldani dari Yayasan Alam Sehat Lestari memaparkan bahwa penyakit zoonosis disebabkan oleh seringnya manusia melakukan kontak langsung dengan hewan. Kontak langsung ini sangat berhubungan dengan kebakaran hutan, lho! Akibat dari adanya kebakaran hutan, illegal logging, dan tindakan lainnya yang dapat merusak habitat, hewan liar jadi merambah ke pemukiman manusia dan menyebarkan patogen / bakteri penyebab penyakit ke tubuh manusia.

Zoonosis, Penyakit dari Hewan dan Alasan Terjadinya Pandemi

Apakah teman-teman pernah mendengar tentang penyakit Ebola di Afrika? Penyakit yang menyebabkan pendarahan itu diyakini ditularkan pertama kali dari konsumsi hewan liar yakni monyet. Atau mungkin yang lebih sederhana adalah malaria. Kita tahu bahwa malaria merupakan penyakit yang diakibatkan oleh nyamuk Anopheles. Nah, penyakit-penyakit inilah yang disebut dengan zoonosis atau penyakit yang dibawa oleh hewan. 




Lalu apa sih hubungan penyakit zoonosis dan pandemi?
Dalam laporan yang dirilis oleh United Nations Environment Programme (UNEP), penyakit yang berasal dari hewan atau zoonosis merupakan penyebab pandemi utama di dunia. Contoh dari penyakit-penyakit tersebut adalah COVID-19, SARS, MERS, Lassa Fever, Ebola, dan masih banyak lagi. Penyakit menular ini rata-rata awalnya berasal dari hewan dan terus berkembang sebagai akibat dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Parahnya, rata-rata penyakit ini bersifat berbahaya dan mematikan. Tentunya  pandemi dan hubungannya dengan lingkungan menjadi masalah untuk peradaban manusia. 

Faktor Pemicu Pandemi 

Pandemi merupakan 'wake up call' untuk manusia, berikut kata para relawan Greenpeace. Setelah kita tahu bahwa sebagian besar pandemi ditransmisikan oleh hewan sebagai akibat dari kerusakan lingkungan, sadarkah kita bahwa 'pandemi' juga hasil kerja manusia? Karena kita membabat dan membakar hutan, mengonsumsi daging hewan liar, dan domestikasi atau pemeliharaan hewan liar. 

Penyakit zoonosis diawali dengan hal yang 'simpel', mulai dari deforestasi, domestikasi, dan perburuan liar. Namun, mobilitas manusia saat ini menambah besarnya masalah. Perpindahan manusia dengan penerbangan internasional, urbanisasi, ataupun berpindah ke pemukiman ramai menambah kontak antar manusia. Hal ini mendukung terjadinya pandemi, yakni wabah yang mendunia.

Pandemi, Deforestasi, dan Kesejahteraan Manusia

Pandemi merupakan masa gelap bagi manusia. Kematian terus meningkat akibat adanya penyakit menular dan berbahaya, mulai dari Black Death, Spanish Flu, HIV/AIDS, dan masih banyak lagi. Bukan sebuah berita bohong jika pandemi disebabkan oleh hewan liar (zoonosis) dan penyebarannya didorong oleh ulah manusia.
Kebakaran hutan merupakan salah satu alasan terjadinya pandemi. Namun lebih dari itu, kasus karhutla di Indonesia telah lebih dahulu mengganggu kesejahteraan manusia. Sekolah ditutup, mobilitas terhalang, angka penderita penyakit ISPA terus meningkat. Kebakaran hutan merupakan bencana rutin yang masih kita lihat sampai sekarang dan bila tidak dihentikan, apakah kita mau hidup tanpa hutan?

Yuk, kita jaga bumi kita dan tingkatkan kesadaran lebih lagi untuk kelestarian alam. Salam Lestari!


Referensi : 
Webinar 'Cegah Karhutla, Cegah Pandemi' oleh Blogger Perempuan Network x Auriga Indonesia x Yayasan Alam Sehat Lestari
https://nasional.tempo.co/read/709764/kebakaran-hutan-di-riau-174-ribu-ha-pemda-baru-mau-audit
https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/08/indonesia-reduces-deforestation-rate-as-researchers-urge-caution.html
https://www.unep.org/news-and-stories/statements/preventing-next-pandemic-zoonotic-diseases-and-how-break-chain

Komentar

  1. Sangat informatif! Thanks for sharing kak ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah.. senang bisa berbagi kak, terima kasih yaa. Semangat menjaga hutan :D

      Hapus

Posting Komentar